Di Facebook saya mencari Tuhan. Setelah memasukkan
kata “Tuhan” di kolom pencarian, muncul sebuah akun. Tapi itu bukan
milik-Nya (dengan N kapital), melainkan kepunyaan sebuah band dari
Turki. Entah apa arti tuhan dalam bahasa Turki, karena di kamus online saya tak menemukannya.
Kalau pun ada Tuhan di Facebook, itu adalah akun dan fanpage yang dibuat oleh para penggemar Tuhan Hal yang sama juga terjadi di Twitter.
Saya gagal mencari Tuhan di dunia maya.
Mungkin Anda bertanya, kenapa saya
iseng mencari Tuhan di jejaring sosial, meski semua orang waras tahu,
pencarian itu akan gagal. Keisengan itu muncul karena saya tergelitik sejumlah status (Facebook, Yahoo! Messenger, BlackBerry Messenger, dan twitter) dalam bentuk doa.
Kenapa orang berdoa di Facebook dan Twitter, jika Tuhan tak ada di media sosial?
Tergelitik, karena menurut guru agama saya dulu,
permohonan kepada Tuhan harus disampaikan dalam hening. Doa adalah
dialog pribadi antara kita dan Dia. Tapi, kini, kita melihat begitu
banyak doa berseliweran di dunia maya dan bisa dibaca oleh jutaan orang.
Mereka mungkin berharap, Tuhan akan membaca status atau tweet itu dan mengabulkannya.
“Kenapa tidak?” kata seorang teman
yang kerap berdoa di Facebook. “Tuhan Maha Mendengar, Dia pasti juga
tahu apa yang kita sampaikan lewat media online.” Benar,
tapi apa perlunya? Kenapa tidak disampaikan dengan khidmat dan khusuk?
“Soal kekhusukan, itu tergantung niat,” kata teman lainnya. “Kalau kita
menulis status atau tweet itu dengan khusuk, apa salahnya?”
Tentu tak salah, tapi jawaban itu tidak memuaskan.
Hanya berkelit dan terkesan defensif. Tak puas dengan jawaban-jawaban
(yang sepertinya kurang jujur itu), saya memutuskan untuk menganalisis
doa-doa tersebut. Dan hasilnya, tidak terlalu mengejutkan.
Sebagian besar doa itu berisi
pengumuman. Misalnya, “Terima kasih Tuhan, Kau telah melancarkan
urusanku ini.” Meski berbentuk doa, sebenarnya mereka hanya ingin
mengatakan kepada dunia bahwa dia telah berhasil melakukan suatu
pekerjaan. Dengan membuat status berbentuk doa, mereka mungkin berharap pengumuan itu tidak terdengar pamer keberhasilan.
Model itu sama dengan model keluh kesah, seperti “Ya Allah, hari ini terasa berat, ringankanlah bebanku.” Dengan
doa seperti ini mereka sebenarnya ingin berbagi dengan orang lain. Yang
mereka harapkan adalah komentar dari teman-teman: “Sabar ya bu/pak…”
Yang sedikit aneh sebenarnya adalah menjadikan Tuhan sebagai “sasaran antara” untuk menyentil orang lain. Misalnya, “Tuhan, sadarkanlah dirinya.” Penulis status ini jelas ingin agar orang yang dituju membaca doa itu dan terusik. Biasanya, komentar dari teman-teman mereka akan berbunyi: “Siapa sih dia?” Dan penulis status akan menjawab: “Ada deh…”
Tentu saja, pemilik akun itu sah-sah saja menulis
status apa pun. Akun-akun dia, apa hak kita melarangnya? Tapi, saya kok
masih percaya, Tuhan lebih mendengar doa yang disampaikan secara lirih
dan dalam kesepian. Bukan di media sosial yang berisik.(source)